Penyakit African Swine Fever (ASF) pertama kali diidentifikasi pada tahun 1921 di Montgomery, Kenya. Wabah ASF perdana ini berhasil meluluh lantahkan poulasi babi di Kenya yang diimpor dari Eropa. Wabah ASF diluar Afrika dilaporkan di Portugal pada tahun 1957 dengan tingkat kematian mencapai 100%. Dengan jangka waktu 3 tahun wabah ASF mampu menyebar ke daerah Semenanjung Iberia seperti Spanyol. Penyebaran ASF ini tentu memberikan kerugian ekonomi yang besar walau sebenarnya penyakit ini tidak dapat menular ke manusia. Bayangkan dengan cepatnya arus transportasi masa kini, mungkin ASF hanya butuh waktu sehari untuk menyerang babi di Indonesia. Untuk mencegah hal itu terjadi mari kita simak apa itu ASF, bagaimana gejalanya, dan usaha pemerintah untuk menangkal penyakit ini masuk ke tanah air.
Dikutip dari situs CNBC, ASF mulai meraung lagi tepatnya Bulan Agustus 2018 ditemukan kejadian ASF di Cina alhasil 1 juta babi dimusnahkan oleh pemerintah Cina pada waktu tersebut. Populasi babi yang turun juga berimbas ke harga karkas babi yang mencekik konsumen di negara dengan salah satu konsumsi daging babi paling tinggi di dunia. Pabrik pakan babi di Cina pun mengalami kerugian karena penurunan populasi babi. Setahun kemudian, negara tetangganya Korea Selatan pun dipusingkan dengan wabah ASF yang dikonfirmasi pada 17 September 2019 alhasil pemerintah Korea Selatan memusnahkan lebih dari 15.000 babi. Yang paling mencemaskan mengutip dari kompas.com beberapa negara tetangga negara kita tercinta ini sudah mengkonfirmasi wabah ASF di daerahnya sebut saja Vietnam (19 Februari 2019), Kamboja (2 April 2019), Filipina (25 Juli 2019), Laos (20 Juni 2019), Myanmar (1 Agustus 2019), dan terakhir Timor Leste (September 2019) negara yang berbatasan darat dengan NTT.
Memang, babi bukan merupakan sumber protein hewani utama di Indonesia karena mayoritas masyarakatnya beragama muslim. Tetapi komoditas babi telah meyumbang devisa negara beberapa tahun ini seperti data yang diambil oleh Badan Pusat Statistik (BPS) ekspor babi ke Singapura pada September I 2019 mencapai 14.893,3 ton yang mengalami peningkatan dari angka 13,194.5 ton. Data dari Kementerian Pertanian menyebutkan bahwa total ekspor babi ternak mencapai 28 ribu ton (US$ 59.9 juta) pada tahun 2017. Indonesia harus dapat bertahan dari status bebas ASF untuk mendongkrak impor di tahun-tahun mendatang.
ASF sendiri merupakan penyakit pada babi yang disebabkan oleh virus DNA rantai ganda dari Famili Asfaviridae. Virus ini akan menyebabkan demam dan perdarahan berbagai organ dalam jika menyerang babi. Angka mortalitas atau tingkat kematian penyakit ini pada babi domestik mencapai 100% artinya, hampir seluruh babi akan mati jika terkena penyakit ini. ASF memiliki tingkat penularan (morbiditas) hampir 100% artinya jika satu babi terkena ASF maka besar kemungkinan semua babi pada 1 populasi juga dapat tertular ASF. Virus dapat menular melalui kontak langsung hewan yang menderita ASF. Penularan antar negara dapat terjadi melalui swill feeding (pakan yang mengandung daging, organ, atau derivat hewan yang diberi pakan). Penularan secara tidak langsung juga dapat terjadi melalui kontak dengan produk olahan babi, sarana produksi peternakan (sapronak), dan sarana transportasi yang mengandung ASF. Virus ASF merupakan virus yang “kuat” bertahan di luar tubuh inangnya sehingga wabah ASF di Indonesia harus dihindari.
Virus African Swine Fever
Sumber: Wikipedia.com
ASF memiliki kesamaan dengan Classical Swine Fever (CSF) atau yang biasa disebut dengan hog cholera. Bedanya, babi yang mati akibat CSF jika dinekropsi akan memiliki ginjal yang berubah seperti telur kalkun dan memiliki button ulcer pada usus sementara pada ASF akan ditemukan perdarahan limpa parah (hingga menghitam) dan mengalami kerapuhan. Penyakit ASF terjadi secara akut, kematian biasanya terjadi seminggu setelah virus menginfeksi babi. ASF dapat menyerang babi lokal dan babi liar. Penyakit ini memiliki vektor (serangga penular) caplak babi dari genus Ornithodoros. Vaksin untuk ASF belum tersedia hingga saat ini. Diagnosa ASF dapat menggunakan menempatkan hewan sentinel (hewan indikator bagi seluruh populasi jika muncul penyakit). Hewan sentinel ini divaksinasi dengan CSF sehingga ketika terjadi kematian mendadak hewan sentinel, dapat diduga populasi terserang wabah ASF. Uji lanjutan yang dapat dilakukan untuk mengkonfirmasi wabah ASF adalah dengan uji ELISA dengan sampel darah, limpa, atau usus.
Babi mati mendadak (atas) dan perdarahan dan pembesaran limpa (bawah)
Sumber: fao.com
Pemerintah melalui Kementerian Pertanian sudah menyusun pedoman kesiapsiagaan darurat veteriner ASF (Kiatvetindo ASF). Kiatvindo ASF seperti yag dikutip dari website Kementerian Pertanian terdiri dari 4 tahapan yaitu Tahap Insvestigasi, Tahap Siaga, Tahap Operasional, dan Tahap Pemulihan. Langkah strategis utama dalam mencegah ASF yaitu dengan menerapkan biosekuriti dan manajemen peternakan babi yang baik serta meningkatkan pengawasan di daerah yang beresiko tinggi khusunya untuk ternak babi. Ditjet PKH, Fadjar Sumping Tjatur Rasa menyampaikan jika Laboratorium Balai Besar Veteriner dan Balai Veteriner di Indonesia sudah siap dan mampu melakukan uji ASF yang berstandar Internasional. Selain itu, Kementan telah memperkuat penyidikan dan pengawasan penyakit hewan untuk mengantisipasi penyebaran ASF masuk ke wilayah Indonesia. Anggota Komisi Ahli Kesehatan Hewan, Kesmavet, dan Karantina Hewan Anak Agung Gde Putra menjelaskan bahwa pencegahan wabah ASF di Indonesia harus juga didukung oleh masyarakat. Masyarakat harus memiliki pengetahuan yang baik tentang ASF dan menerapkan manajemen peternakan yang baik. Koordinasi antar Lembaga dan instansi terkait dengan pengeluaran dan pemasukan hewan ternak juga harus dilakukan untuk mencegah penyebaran ASF di Indonesia. Pemerintah harus memastikan tidak ada babi hidup atau olahannya dari wilayah tertular masuk ke wilayah Indonesia dan mencegah pemberian pakan dari sisa makanan yang belum dipanaskan terlebih dahulu.
Sumber: Majalah Infovet Edisi Bulan November 2019 Hal. 84-86
Leave A Comment